FALSAFAH DAN HAKIKAT PENDIDIKAN (makalah)

A.  Pendahuluan
          Fitrah sebagai seorang manusia adalah menerima segala hal di muka bumi, termasuk juga yang namanya pendidikan yang pada hakikatnya semua manusia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan (education). Pendidikan harus membuat interelasi manusia sebagai subjek dalam dunia beserta isinya. Pendidikan secara esensial berfungsi untuk mempertemukan manusia dengan jatidirinya kemanusiaannya dalam dunia pendidikan dalam hubungannya dengan dunia sesama manusia dan makhluk lain. Manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia ingin mencapai kehidupan yang optimal, kehidupan yang lebih baik secara optimal. Selama manusia berusaha untuk meningkatkan kehidupannya baik dalam meningkatkan dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan atau keterampilannya secara sadar atau tidak sadar maka selama itulah pendidikan terus berjalan.
         Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu pendidikan itu digelar ? 

B.  Pengertian Penndidikan
                  Saya ingin mengawalinya dengan apa yang saya pahami tentang pengertian pendidikan, yaitu pada hakikatnya merupakan sebuah upaya (proses) transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik mencakup totalitas aspek kemanusiaan sehingga menghidupkan kesadaran, sikap dan tindakan kritisnya terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menurut Peter McLaren, “Pendidikan kritis menyatakan bahwa kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni atau tempat-tempat lainnya harus memiliki visi yang tidak berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu.” Lebih detil Konferensi Internasional I tentang Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977 telah merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat manusia.”
        Dalam masyarakat modern, menurut Shipman, fungsi pokok pendidikan tersimpul dalam tiga hal : Pertama, sosialisasi, yakni sebagai wahana integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, penyekolahan (schooling), yakni penyiapan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu di masyarakat dengan pembekalan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi. Ketiga, pendidikan (education), diartikan di sini sebagai penciptaan kelompok elit yang diharapkan akan memberi sumbangsih besar bagi kelanjutan program modernisasi. Sekolah ternyata memang bukan sesuatu yang netral atau bebas nilai. Ia terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula.
          Makna pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan luas. Dalam arti khusus pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Jadi, pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Sedangkan dalam arti luas, merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan sosial merupakan bagian dari lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk pengembangan manusia yang terbaik dan intelejen, untuk meningkatkan kesejahteraannya.
             Secara definitive pendidikan adalah media transformasi antar manusia satu dengan manusia lain. Paolo Freire dalam bukunya “pendidikan yang membebaskan” mendefinisikan pendidikan sebagai prasarana untuk memanusiakan manusia. Dalam klarifikasinya pendidikan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu formal, nonformal dan informal. Secara harfiah sekolah beasal dari kata skhole, scholae atau sehola (bahasa yunani) yang artinya “waktu luang”. Pada masa yunani kuno waktu luang yang ada setelah bekerja digunakan untuk mempelajari sesuatu kepada orang ahli. Kebiasaan tersebut juga diberlakukan kepada putera-puteri mereka dengan mennitipkan dalam waktu tertentu. Disana mereka bermain, berinteraksi dan mempelajari apa yang dianggap perlu.
              Pendapat ini dihadirkan lebih sebatas untuk menunjukka  bahwa pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan sistem dan struktur sosial yang melingkupinya. Pendidikan dapat berperanan penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial (status quo) yang ada, juga dapat pula menjadi proses bagi perubahan sosial yang lebih adil. Rahardjo et.al. menyatakan bahwa “peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya.” Karena itu untuk memahami model suatu proses pendidikan dan memproyeksi implikasi dan hasilnya baik secara individu atau kolektif, maupun untuk memahami realitas sosial secara umum, dapat dilakukan dengan mengkaji pilihan paradigma yang dijadikan dasar bagi institusi pendidikan generasinya.
          Dari sini dapat diasumsikan bahwa konsepsi-paradigmatik seorang mahasiswa (peserta didik) mengenai sesuatu hal, sedikit banyak ada relasinya dengan pola paradigma yang dianut dalam proses pendidikan yang diikutinya. Dan jika hal ini dibaca dari bawah, maka pola paradigma yang dianut dalam suatu proses pendidikan akan berelasi dengan pemolaan konsepsi-paradigmatik peserta didiknya. Giroux & Aronowitz melihat paradigma pendidikan dalam analisisnya dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) aliran.


B.  Paradigma Pendidikan
             Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.

                 1. Paradigma Konservatif
          Dalam menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
            Pengikut paradigma ini melihat bahwa ketidaksetaraan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan taqdir tuhan. Awalnya paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial hanya tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna itu semua.
                Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah” masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa. Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape ! 
           Perkembangan selanjutnya paradigma konservatif cenderung menyalahkan subjeknya (manusia) bahwa orang yang miskin, buta huruf, kaum yang tertindas, mereka yang dipenjara dan lain-lain menjadi demikian karena salah mereka sendiri.
                   2.Paradigma Liberal
               Cara pandang ini memandang bahwa ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi, sungguhpun demikian kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Umumnya usaha yang dilakukan adalah seperti: membangun kelas dan fasilitas baru yang diutamakan oleh pendidikan adalah “excellence” atau keunggulan dan itu harus menjadi target utama pendidikan.
                  Paradigma pendidikan yang kedua ini adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
                     Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas. Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
                    3.Paradigma Kritis atau Radikal
    Mereka menganggap bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Visi pendidikan adalah kritik terhadap system dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta system sosial baru dan lebih adil. Tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil. Paradigma pendidikan yang ketiga ini adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat  berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang.

C.  Pendidikan sebagai proses transformasi nilai
              Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya (afektif), serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian manusia, seperti halnya member nekal pengetahuannya dan ketrampilan kepada seseorang untuk menjadi penindas atau lintah darat bagi rakyat jelatah.
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup 3 dasar pendidikan (tri dharma pendidikan) yakni, pertama kegiatan mendidik dan mengajar, kedua kegiatan penelitian dan ketiga pengabdian pada masyarakat. Istilah mendidik dan mengajar menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pembentukan watak dalam mengembangkan budi pekerti hati nurani kecintaan, rasa kesusilaan dan lain-lain serta memberi ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia. Kegiatan penelitian merupakan aplikasi dari pengetahuan yang didapat peserta didik untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga akan terjadi sesuatu pembiasaan dalam bertindak. Pengabdian dalam masyarakat adalah hal yang paling penting dalam transformasi nilai pendidikan sehingga pendidikan bisa berfungsi untuk menyelesaikan persoalan hidup bagi masyaraka yang lebih baik.
Seperti yang telah dikemukakan di atas pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Kegiatan tersebut sebagai usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai maka, dalam pelaksanaannya ketiga kegiatan tersebut harus berjalan terpadu dan berkelanjutan serta serasi dengan perkembangan peserta dan lingkungan hidupnya.

D. Tujuan Pendidikan
               Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia. Tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai, pertama autonomi yaitu memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan secara maksimum kepada peserta didik untuk dapat mendidik, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, equity (keadilan), berarti bahwa tujuan pendidikan harus member kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi. Sehingga pendidikan bukan suatu barang mewah yang sangat sulit untuk dikonsumsi oleh rakyat jelata melainkan syarat mutlak yang harus didapatkan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Ketiga, survival yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Berdasarkan ketiga nilai tersebut di atas, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik dan menggambarkan pendidikan dalam konteks yang sangat luas yang mencakup kehidupan seluruh umat manusia dimana tuuan utama pendidikan pendidikan adalah memanusiakan manusia.

E. Alat Pendidikan
              dalam proses pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dan anak didik untuk bersama-sama dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut akan terjadi perbuatan pendidikan apabila perbuatan tersebut disengaja untuk mencapai tujuan pendidikan disebut alat pendidikan. Jadi alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi , yang dengan sengaja untuk menciptakan tujuan pendidikan. Namun apabila perbuatan dalam situasi tersebut tidak disengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka perbuatan tersebut disebut Faktor pendidikan. Secara lahiriah sukar untuk membedakan antara alat pendidikan dengan factor pendidikan. Kadang-kadang akibat dari factor pendidikan bisa sama. Sebagai contoh seorang ayah menyuruh ayahnya untuk pergi ke ladang untuk mengembala kambing dan sapi dengan tujuan anak tersebut memiliki tanggung jawab kedisiplinan dan bekerja keras selalu dalam menggapai cita-cita hidupnya, maka perbuatan tersebut adalah alat pendidikan. Di lain pihak, seorang ayah menyuruh anaknya ke ladang dengan tujuan hanya sekedar untuk membantu meringankan beban pekerjaan ayahnya, maka perbuatan tersebut adalah factor pendidikan.
Pada perbuatan pertama jelas (pendidik) menyadari akan tujuan tindakannya, yaitu agar dalam diri anak tertanam tanggung jawab, kedisiplinan dan kerja keras dalam cita-cita sedangkan pada tindakan kedua tujuannya hanya untuk kepentingan ayah (pendidik), tidak didasari untuk tujuan pengembngan kepribadiian anak.

F.Pendekatan Pendidikan 

      Pendekatan pendidikan biasanya bisa terbagi dua model pendidikan yaitu: pertama, pendekatan pedagogi, pada model ini merupakan suatu proses pendidikan yang menempatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak meskipun usia biologis mereka sudah termasuk dewasa. Konsekwensinya peserta didik menjadi murid yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek, dimana guru menggurui, murid dievaluasi dsb. Intinya metode ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Kedua, pedekatan pendidikan andragogi atau pendekatan pendidikan orang dewasa, merupakan pendekatan yang menempatkan peserta dan belajar sebagai orang dewasa yaitu murid sebagai subjek dari system pendidikan. Murid diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan metode yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisa dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru sebagai fasilitator, tidak menggurui, dan relasi guru dan murid sama-sama menjadi pelaku (pendidikan). Pendekatan tersebut juga sering dikenal sebagai pendekatan dialogis, intinya anak dididik sebagai subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga guru. Guru dan murid saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Hubungan keduanya bersifat subjek-subjek, bukan subjek-objek, objek mereka adalah realita sehingga tercipta suasana dialogis yang bersifat intersubjek untuk memahami suatu objek bersama.

G. Penutup
          Pendidikan adalah sebuah proses membutuhkan waktu yang panjang. Yaitu pendidikan sepanjang hayat berlangsung mulai pendidikan dalam keluarga sekolah formal sampai pendidikan di masyarakat. Pendidikan tersebut bersifat dinamis dan senantiasa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan kemajuan jaman. Falsafah dan hakikat pendidikan sebenarnya sebagai media dan pembebasan dari yang semula tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa sehingga masyarakat tidak terbelenggu pada paradigma yang dogmatis. Setiap diri manusia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa mengenal ruang dan waktu, tanpa mengenal usia dan tanpa dibatasi oleh bangunan gedung sekolah yang megah yang memisahkan antara si kaya dan si miskin. Falsafah pendidikan yang memanusiakan manusia (humanize the human being) harus tetap menjadi pandangan hidup dalam dunia pendidikan sehingga akan tercipta pendidikan yang bebas secara politik, sejahtera secara ekonomi, adil secara hukum dan partisipatif secara budaya.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul FALSAFAH DAN HAKIKAT PENDIDIKAN (makalah). Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://pemberianalam.blogspot.com/2012/04/falsafah-dan-hakikat-pendidikan-makalah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: werwawa - Friday, April 6, 2012

Belum ada komentar untuk "FALSAFAH DAN HAKIKAT PENDIDIKAN (makalah)"

Post a Comment